Stop Poya - poya...... ayo jadi ahli manfaat......

Rabu, 08 Februari 2012

lagi - lagi Nilai


Hah… mau teriak saja rasanya melihat nilai – nilai terpampang karena ternyata tidak sesuai dengan yang selama ini saya lakukan. Begitu banyak pertanyaan dan kebingungan di hati saya. Entah mengapa ada penilaian di setiap sekolah – sekolah atau bahkan diperguruan tinggi. Beberapa orang menganggap nilai raport atau nilai KHS itu adalah segalanya, padahal itu Cuma finisnya saja.

Saya lebih tidak paham ketika saya membaca lembaran nilai teman-teman sekelas dan menemukan sebuah nama bertengger pada posisi yang cukup atas. Oke, memang secara akumulatif, nilainya tinggi dan baik, tapi, apakah secara tingkah laku dia pantas mendapat nilai setinggi itu? Menurut saya, TIDAK juga.
Kadang saya tak paham dengan sistem penilaian dari guru. Apa yang selama ini dinilai oleh guru? Apakah guru juga harus menilai sesuatu yang disebut proses? Dan menurut saya atas kejadian diatas, guru hanya menilai hasilnya saja. Guru tidak menilai bagaimana dia mengerjakan soal ulangan: menyontek atau tidak, bekerja sama dengan teman lain atau tidak, membuka modul atau tidak, mendapat jawaban dari teman lain melalui server atau tidak, dan yang penting: berbuat jujur atau tidak. Guru jarang menilai dengan sungguh-sungguh tentang seberapa rajin dia masuk kelas, memperhatikan atau tidak, dan sebagainya.

Miris rasanya bila mengingat hal itu. Bila tindakan tidak terpuji di sekolah masih tidak dihiraukan oleh guru, lalu apa peran sekolah sebagai tempat belajar? Apa belajar itu hanya ilmunya saja tanpa menghiraukan pembentukan karakter: kejujuran, pengembangan diri, dorongan semangat, dan sebagainya. Sebut saja Ihsan, murid kelas 3 yang ternyata sudah 1 tahun tinggal kelas. Tiba – tiba sekolah memanggil orang tuanya, tahu kenapa? Hanya karena sianak tidak pintar. Dia tidak bisa menulis dan membaca dengan benar. Sang guru hanya selalu menghukum dan memarahinya ketika jam pelajaran dimulai . tidak jarang dia dikeluarkan dari kelas hanya karena itu. Hingga orang tuanya kehabisan akal dan memasukkannya ke sekolah asrama. Pada awal masuk kondisinya semakin memperihatinkan, setiap pelajaran atau guru yang masuk mengajar dikelasnya selalu menghukumnya. Setiap pelajaran selalu dihabiskan diluar kelas. Hingga akhirnya ada seorang guru kesenian yang membantunya menghidupkan semangatnya. Ternyata Ihsan mengalami gangguan membaca dan menulis atau lebih dikenal dengan Disleksia dan Disgrafia. Gangguan semacam ini bukan disebabkan karena adanya gangguan pada fungsi otak akan tetapi karena si anak tersebut terkadang suka mengalami frustasi dan terkadang mereka sulit untuk menyelesaikan tugas – tugas sekolah mereka.
Saya pun pernah mengalami apa yang dialami oleh Ihsan. Waktu itu saya masih kelas 1 SD. Selama saya sekolah, saya tidak pernah mendapatkan nilai yang bagus walaupun hanya menulis. Guru saya tidak pernah memberikan saya nilai di atas 50. Hingga suatu hari, saya mengerjakan Soal Matematika dan itu ternyata benar semua. Akhirnya saya bisa dapat nilai 100 tapi ternyata kesenangan saya dianggap biasa saja oleh guru saya. Beliau tidak mengatakan apapun sebagai motivasi bagi saya. Hingga pada saat kenaikan kelas pun nilai – nilai diraport saya tidak begitu bagus alias saya tidak naik kelas. Sampai saat ini saya masih bertanya kenapa saya tidak naik kelas??? Apa karena saya bodoh?? Atau karena sang guru malu punya murid seperti saya??? Atau karena saya tidak punya uang untuk bayar mungkin?? Umur saya baru 6 tahu saat saya dikembalikan dikelas 1 lagi, saya hanya bisa menangis karena semua teman – teman saya di kelas 1 dulu mengejek saya. sebenarnya saya yang tidak pintar atau guru saya yang tidak bisa mengajari saya. bukankah setiap anak pintar dan cerdas? 
Hingga ketika saya kembali dikelas 1 saya menemukan figure guru sebenarnya. Beliau berbeda dengan guru – guru yang ada. Hingga selama dua tahun berturut – turut saya selalu mendapat pujian dari sekolah karena nilai ulangan semester saya selalu diatas 90. Saya tidak begitu ingat bagaimana beliau mengajar. Yang saya ingat beliau tidak pernah selalu terpaku dengan apa yang diajarkan. Beliau selalu membuat kami tidak tegang, rasanya santai saja, walaupun itu pelajaran yang susah. Hingga hanya 5 bulan saya berada dikelas 1 saya sudah bisa membaca, sesuatu yang sangat susah saat itu. Anak- anak pada waktu itu paling lambat bisa membaca pada kelas 3. Tentu saja semua guru kaget sekaligus bangga. Tapi pada saat di kelas 3 dan seterusnya keadaan kembali seperti dulu. Di kelas 4 saya bertemu dengan guru yang tidak begitu menyenangkan. Setiap hari saya selalu dihukum, berdiri dengan 1 kaki karena lupa membawa buku PR. Bahkan guru saya dengan telaknya mengatakan saya bodoh. Saya tidak paham atas dasar apa seorang murid dikatakan bodoh. Saya pun tidak mengerti mengapa teman – teman saya yang kaya walaupun tidak juga pintar (aktif) mendapatkan perhatian yang lebih dari pada kami yang biasa – biasa saja juga tidak kaya. Apa guru juga melihat muridnya dari status sosialnya dimasyarakat. Sehingga mereka yang setiap ada soal – soal ataupun waktu ujian semesternya tidak jujur mendapat nilai raport yang baik. 
Saya juga tidak paham dengan nilai. Atas dasar apa seseorang menilai sesuatu? Bukankah nilai itu sifatnya sangat subjektif? Apasih nilai itu sesungguhnya? Di rapor saya berderet nilai dalam aneka rupa angka tapi saya tidak percaya pada nilai-nilai itu. Karena nilai ditulis oleh guru yang menurut saya, menilai pada hasilnya saja. Apakah nilai yang baik berarti murid itu pandai? Tidak juga. Apakah nilai itu didapat dengan kejujuran atau tidak, guru, orang tua murid, atau wali murid juga tak akan tahu. Memangnya sekolah untuk dapat nilai ya??? Bukan untuk Pintar atau membangun karakter yang baik?? Dan apakah ujian itu harus dilaksanakan? Untuk apa?? Sebenarnya apa sih tujuanya Negara membangun sekolah?? Untuk Pintar biar gak ditipu orang atau pintar biar bisa nipu orang???
Saya diajarkan tentang kejujuran di rumah, saya diajarkan tentang integritas di rumah, saya diajarkan tentang harga diri di rumah, saya diajarkan tentang berkembang secara mental dan spiritual di rumah. Lalu….Bila di sekolah hal itu diabaikan, bagaimana kerja sama lingkungan keluarga dan sekolah dalam mendidik murid bila apa yang diajarkan saling tidak sesuai? Saya jadi tidak paham bagaimana peran sekolah dan bagaimana hubungan sekolah dan keluarga dalam mendidik anak bangsa.


rasanya Jengkel sekali ketika saya melihat ada pengumuman beasiswa prestasi (lagi-lagi nilai) yang diajukan adalah nilai rapor yang tinggi. Jika yang masuk adalah yang nilainya bagus tapi tingkat kejujuran rendah, generasi seperti apa yang dilahirkan dari nilai-nilai tersebut?
mmm…. Gimana yah… Jangan marah bila kita menonton di televisi tentang kasus-kasus korupsi, mulai dari Nazaruddin, Nunung Nurhayati, dan lainnya kalau dalam proses belajar kita, kita masih berbuat curang. Bila kita marah pada mereka, marahlah pada diri sendiri dulu bila masih berbuat curang. Benahi dirimu sendiri hingga menjadi lebih pantas daripada mereka yang menggerogoti uang rakyat dan merugikan rakyat. Sebab kadang perbuatan tidak jujur dan curang yang kita lakukan itu juga merugikan banyak orang.
Dan tahu tidak mengapa ada orang – orang seperti mereka??? Karena pada waktu melakukan kecurangan kecil selalu saja dianggap biasa, selalu saja lumrah tapi lama – lama kita berani melakukan kecurangan yang sedikit besar hingga kecurangan yang sangat besar hingga ketika kita melakukan kecurangan yang besar hal itu sudah menjadi lumrah… telah bertahun – tahun lamanya, saya hanya bisa menerima keadaan seperti ini yang mungkin semua juga salah saya. Tapi lama – lama saya merasa tidak adil sa
Seorang dosen di Kampus saya mengatakan “Kuliah itu tidak perlu pintar, tidak perlu juga dapat nilai bagus – bagus, yang penting tahu, paham dengan pelajarannya”
Yang pasti saya masih berpendapat bahwa Ringking, IP atau apalah namanya bukan segalanya. 
Tulisan ini saya persembahkan untuk teman – teman yang bernasip sama, guru – guru saya yang begitu besar pengaruhnya bagi hidup saya, juga keluarga saya yang ikut andil dalam pendidikan saya,,,

Gambar diambil dari Google.com




3 komentar:

  1. Tampilannya sudah bagus nih dek, coba ditambahkan widget 'share-it- seperti di blog mbak, jadi bisa langsung 'share' sesuai judul. Nilai memang bukan segalanya, tetapi nilai itu tetap penting untuk mengetahui seberapa besar kesuksesas proses belajar-mengajar. Oke tetap semangat!, terus menulis ya...!

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Yah, namanya tes kan untuk melihat seberapa besar keberhasilan proses belajar mengajar. Hasil tes kalau bagus ya tidak bisa di-anulir meskipun perilaku seseorang yang mendapat nilai bagus itu minus. Kalo saya sih setujunya sama tindakan guru di film "Closed Notes" yang memberi medali sesuai kelebihan muridnya. Ada yang rajin bersih2 kelas, ada yang pantang menyerah. Pokoknya berusaha meg-optimalkan kelebihan muridnya.

    BalasHapus